Rabu, 19 Oktober 2011

JURANG NERAKA lebih dekat pada orang berilmu


Kisah sang Nabi

Suatu hari Musa a.s. sedang berada di tengah-tengah kaumnya memberi peringatan tentang hari-hariNya Allah, hari-hari yang penuh dengan kesengangan dan mala petakaNya. Ketika itu Musa a.s. berkata: “Aku tidak pernah melihat di muka bumi ini seorang lelakipun yang lebih berilmu daripada diriku”. Allah segera memberi wahyu kepada Musa: “Sesungguhnya Aku tahu orang yang lebih baik lagi. Dan Aku tahu di mana orang itu. Sesungguhnya di muka bumi ini ada orang yang lebih tahu daripada kamu. Musa a.s. berkata: “Wahai Tuhanku, tunjukkanlah aku kepadanya”. Selanjutnya dikatakan kepa Nabi Musa a.s.: “Bawahlah bekal seekor ikan asin. Di mana saja ikan tersebut hilang, maka di situlah orang tersebut berada. “Musa a.s. bersama muridnya (Yusya’ bin Nun). Musa a.s. membawa ikan tersebut pada sebuah keranjang. Musa dan muridnya tersebut berangkat dengan berjalan kaki sampai disebuah batu karang yang sangat keras. Musa a.s. dan murinya tertidur. Sementara ikan yang berada dalam keranjang bergerak dan melompat keluar lalu terjun kelaut. Allah menahan ombak, sehingga air laut menjadi seperti jembatan buat melintasi ikan tersebut. Musa a.s dan muridnya merasa heran. Mereka meneruskan perjalanan pada siang dan malam harinya yang masih tersisa. Murid Musa a.s. lupa mengingatkan kepada Musa. Suatu pagi Musa a.s. berkata kepada muridnya: “Bawahlah kemari bekal kita. Sesungguhnya kite telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. Tetapi Musa a.s. tidak akan pernah letih menyerah sebelum ia sampai di tempat yang diperintahkan. Muridnya berkata: “Tahukah anda ketika kita mencari tempat perlindungan disebuah batu karang tadi, aku lupa menceritakan tentang ikan itu, syaitanlah yang sejatinya membuat aku lupa untuk menceritakannya, ikan itu telah masuk ke laut dengan cara yang sangat aneh.” Selanjutnya Musa a.s. berkata “Kalau begitu itulah tempat yang kita cari.” Keduanya lalu kembali. Keduanya mengikuti jejak mereka semula, sehingga mereka tiba dibatu karang tadi. Musa tiba-tiba melihat seseorang lelaki yang sedang berselimut yang menutupi sebatas bahunya dan itulah Nabi Khidir. Musa a.s. coba mengucapkan salam kepadanya. Khidir bertanya kepada Musa a.s. “Bagaimana mungkin ada salam di bumi ini?” Musa a.s. berkata “Aku adalah Musa.” Khidir kembali menimpali “Musa Bani Isra’il?” Musa a.s. menjawab “Ya”. Khidir berkata: “sesungguhnya kamu memiliki sesuatu ilmu yang telah Allah berikan kepada kamu. Dan aku tidak mengetahuinya. Sebaliknya aku juga memiliki salah satu ilmu Allah yang telah diberikan kepadaku. Dan kamu tidak megngetahuinya”. Musa a.s. berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mau mengajari kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadaku?” Khidir menjawab: ”Sesungguhnya kamu tidak akan bisa sabar besamaku. Bagaimana kamu bisa bersabar atas sesuatu yang kamu belum memilki pengetahuan yang cukup tenga hal tersebut?” Musa a.s. berkata: “Isanya Allah kamu akan mendapti aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusanpun”. Khidir berkata kepada Musa a.s.:”Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu”. Musa a.s. berkata: “Baiklah”. Khidir dan Musa a.s. lalu berangkat dengan berjalan kaki menelusuri tepi pantai, ada sebuah perahu melewati mereka. Mereka bercakap-cakap dengan para penumpannya agar mau membawanya. Karena sudah kenal dengan Khidir, mereka lalau membawa keduanya tanpa bayaran. Khidir dengan sengaja mencabut sebuah papan dek perahu tersebut. Musa a.s. berkata kepada Khidir: “Mereka telah membawa kita dengan tanpa bayaran. Tetapi dengan sengaja perahu mereka kamu lobangi, kamu mau menenggelamkan penumpangnya. “Bukankah kamu telah berbuat kesalaha yang besar?”  cuap Khidir “Bukankah aku telah beratak sebelumnya: “Sesungguhnya kamus ekali-kali tidak akan sebar bersamaku”. Musa a.s. berkata: “Janganlah anda menghukum aku dengan kelupaanku, dan janganlah membebani aku dengan perkara yang sulit dalam urusanku.” (Dalam satu riwat dijalaskan tinakan Musa a.s. yang Dpertama memang karena lupa. Seekor burung pipit lalu hinggap di tepi perahu dan mematuk di laut. Khidir lalu berkata kepada Musa a.s.: “Ilmu kita dibandingkan dengan ilmu Allah, adalah ibarat patukan burung pipit  tersebut pada lautan itu”.)
               Selanjutnya mereka meninggalkan perhu tersebut. Saat mereka sedang berjalan di tepi pantai, tiba-tiba ada seorang anak remaja sedang bermain-main bersama beberapa temannya. Khidir memegang kepala anak itu, menggandeng tangannya, lantas membunuhnya. Musa a.s. berucap: “Mengapa anda membunuh jiwa yang masih bersih itu? Sesungguh nya kamu telah melakkukan sesuatu yang mungkar.” Khidir berkata: “Bukankah sudah aku katakana bahwa kamu tidak akan sabar bersamaku? Ini sudah keterlaluan daripada yang pertama.” Selanjutnya Musa a.s. berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sekali lagi, maka tak akan ikut bersama. Sesungguhnya anda telah cukup pengertian kepadaku”. Mereka meneruskan perjalanan. Ketika mereka sampai ke suatu negeri, mereka meminta dijamu oleh penduduk setempat. Tetapi penduduk negeri itu enggan menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapati di daerah tersebut dinding rumah yang hampir roboh. Khidir lalu menegakkan dinding rumah itu. Musa a.s. berkata: “Jika kamu anda mau, anda bisa mengambil upah untuk pekerjaan itu “Khidir mengisyaratkan tangnanya dan menegakkan dinding tersebut. Musa a.s. berata kepada Khidir: “Orang-orang yang kita datangi tidak mau menerima kita sebagai tamu dan tidak mau menjamu kita. Jika kamu mau, kamu  bisa mengambil upahnya pekerjaanmu itu.” Khidir berkata: “ Inilah perpisahan kita. Aku akan memberi tahukanmu tentang perbuatanku yang membuat kamu tidak sabar ke atasnya. Mengenai perahu itu, ia adalah kepunyaan nelayan miskin yang bekerja di laut. Saat pembajak laut melihat perahu itu dalam keadaan bocor, maka ia akan membiarkannya saja. Mereka lalau memperbaikinya dengan sepotong kay. Adapun anak mudah tersebut telah ditakdirkan Allah sebagai orang kafir, sementara orang tuanya sangat mencitinya. Kalau saja ia masih terus bersama orang tuanya niscaya dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan aku ingin agar tuhan mereka menggantikan dengan anak yang lain yang lebih baik kesuciannya dan lebih disayang daripada anak itu. Adapun dinding rumah itu kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu. Dibawahnya ada harta benda warisan milik mereka berdua.”[1]

Cuplikan

1.      Aku tidak pernah melihat di muka bumi ini seorang lelakipun yang lebih berilmu daripada diriku”.
2.      sesungguhnya kamu memiliki sesuatu ilmu yang telah Allah berikan kepada kamu. Dan aku tidak mengetahuinya. Sebaliknya aku juga memiliki salah satu ilmu Allah yang telah diberikan kepadaku. Dan kamu tidak megngetahuinya”.
3.      Khidir menjawab: ”Sesungguhnya kamu tidak akan bisa sabar besamaku. Bagaimana kamu bisa bersabar atas sesuatu yang kamu belum memilki pengetahuan yang cukup tenga hal tersebut?”
4.      Ilmu kita dibandingkan dengan ilmu Allah, adalah ibarat patukan burung pipit  tersebut pada lautan itu

Ulasan

Berdasarkan penjelasan hadist di atas orang yang berilmu lebih cenderung kepada kesombongan oleh karena itu berhati-hatilah. Disebabkan kesombongan inilah Nabi Musa a.s. mendapat teguran dari Allah. Seperti di jelaskan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’nya bahwa kesombongan orang yang berilmu itu dari awal niatnya sudah salah. Mempelajari ilmu haya untuk berdebat, ingin dipuji dan merasa tinggi hati lalau timbullah persaan menganggap orang lain bodoh. Lantas orang yang berilmu memiliki sifat demikian lebih dekat dengan neraka. Diingat kembali, sebagai mana ucapan  Pythagoras, kita bukanlah orang yang ahli ilmu melainkan pencari ilmu. Sesungguhnya selama hidup seseorang itu dihabiskan untuk mencari ilmu semata maka tidaklah ia mengetahui semuanya. Perlu dicamkan ucapan Khidir “sesungguhnya kamu memiliki sesuatu ilmu yang telah Allah berikan kepada kamu. Dan aku tidak mengetahuinya. Sebaliknya aku juga memiliki salah satu ilmu Allah yang telah diberikan kepadaku. Dan kamu tidak megngetahuinya”.

Kesimpulan

Mengambil ikhtibar dari hadist di atas maka Allah tidak menyuki orang yang berilmu merasa sombong dan menganggap rendah orang lain. Jik Allah sudah tidak menyukainya maka jurang nerakalah tempat yang kembalinya orang tersebut. Oleh karena itu mengingat kembali pesan Al-Ghazali  agar kita berhati-hati terhadap penyakit sombongnya ilmu. Guna mempelajari ilmu ialah untuk memperbaguskan amal dan mengenal Tuhan bukan untuk menegakkan kepala dan merasa mulia. Sombongnya ilmu ini merupakan penyakit orang yang memilikinya oleh karena itu jika tidak berhati-hati orang yang berilmu lebihd ekat dengan jurang neraka.



[1] Hadist riwayat Imam Muslim dalam kitabnya Sahih Muslim nomor 170 dan 172 Jilid 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar