Jumat, 02 September 2011

HIDUP segan MATI tak mau



Perasaan kecewa. Ya..kecewa. Kecewa adalah tidak tercapainya apa yang menjadi harapan, kehidupan tidak sebagaimana yang diharapkan. Terkadang kecewa ini berawal dari perasaan putusa asa dan terlalu berat menanggung beban penderitaan hidup. Memang hidup ini adalah perjuangan Allah tidak menajikan dunia ini surga melainkan tempat ujian, sebaik-baik tempat ujian itu bukanlah suatu yang menyenangkan. Oleh sebab itu kita mesti tau bahwa hidup ini adalah ujian. Ujian antara sabar dan syukur sehingga dapat dibedakan mana oragn yang benar-benar bertakwa kepada Allah barulah ia mendapatkan balasan sesuai dengan janji Allah ialah surga yang mengalir di bawahnya sungai-sunggai.

Kenapa terkadang hidup terasa membosankan?. Sepertinya hidup segan mati tak mau.

Perasaan bosan dikarnakan perasaan tidak gembira, rasa resah dan gelisa. Perkara ini berawal jiwa yang kosong. Kosong dari sesuatu yang mampu mengisi keperluan jiwa tersebut. Jiwa manusia itu hidup seperti hidupnya jasad  dia perlu makan, minum dan istirahat. Makanan jiwa ialah sesuatu yang beresesuaian dengan fitrah terutama sekali yang berkaitan dengan perbuatan bagus yang menghubungkan ia dengan penciptanya. Minuman jiwa ialah melakukan aktivitas yang benar, tidak sia-sia. Sementara istirahatnya jiwa itu bersujud di hadapan tuhannya. Ingat, bahwa dengan mengingat Allah jiwa menjadi tenang.

Perasaan bosan dan putus asa juga bersumber dari kurangnya kesabaran dan ikhlas dalam melakukan perkara, dalam menerima keadaan dan dalam menghadapi keadaan. Hal ini terjadi disebabkan seseorang hamba itu tidak begitu yakin dengan qadha dan qadar Allah. Bahwa apa yang terjadi itu sudah Allah tentukan kenapa harus menyesal. Terima saja lah. Sesuatu yang kita pandang baik, enak, bagus belum tentu baik di sisi Allah dan begitu juga sebaliknya. Sebab Allah yang punya rencana kita sebagai hamba menerima. Perasaan menerima ini tidak akan pernah ada kecuali di hati orang yang benar-benar beriman. Kenyataanya sekarang banyak yang beranggapan perakara urusan agam tidak penting. Biarlah ia urusan tuakng ceramah atau guru-guru agama. Akhirnya apa yang terjadi, sampai masalah cinta ditolak pun banyak yang bunuh diri. Menyedihkan. Itu menandakan rapuhnya jiwa seseorang.

Certia kosong? Tidak. Saya ada buktinya.

Teguhnya jiwa para sahabat Rasulullah s.a.w menghadapi musuh, dan berperang hanya memakan dedaunan, perlengkapan perang alakadar, ada yang hanya berselendang kain sarung dan adakalanya mereka berpuasa. Sementara musuh-musuh mereka bertopi baja, memakai baju besi, kuat-kuat dan perutnya gendut kekenyangan. Tetapi kenapa pasukan Islam selalu menang?

Mereka adalahlah generasi yang begitu takut kepada Allah mereka lebih banyak menangis daripada tertawa, cinta dengan Rasulnya. Bahkan kasih dan sayangnya melebihi diri sendiri, harta, anak isteri dan sebagainya.
Rapuhnya jiwa juga menyebabkan daya tahan rohani menjadi lemah ketika harus berbenturan dengan sesuatu yang menantang. Jiwa yang rapuh bersumber dengan hidup yang terbiasa senang dan selalu mengharap senang jauh dari tuntunan agama. Perlu kita buka kembali sejarah para nabi, sebelum Allah membebankan mereka dengan tugas yang amat berat terlebih dahulu mereka dilatih, ditempah sehingga menjadi manusia yang tahan banting. Oleh sebab itu biasakan menghadapi masalah dan menyelesaikan masalah dengan tenang dan sabar. Perkara ini perlu dilatih juga kepada anak-anak semenjak kecil lagi biar ia terbiasa.

Kurangnya dekat  hati dengan Allah, sering berperasangka buruk padaNya. Dan menggap Allah tidak sayang. Jika hati membisikan demikan, itulah suara Iblis yang meniup hati haba tersebut supaya mendurhakai Allah. Berhati-hatilah dengan tipu daya Iblis. Tidak mau shalat, disebabkan Allah tidak memberikan seperti apa yang diharapkan, meratapi nasib, marah dengan Allah. Na’u zubillahi min zalik. Cinta kasih sayang Allah itu melebihi kasih sayang seorang ibu kepada banyinya. Bagi Allah hilang dunia ini sesisinya tidak berarti apa-apa dibandingkan kehilangan seorang hamba yang beriman.

Kemudian tentang hubungan ibadah sering kita kaitkan degan kesenagnan hidup di dunia, dengan rizki yang melimpah ruah. Bukan demikian pemahaman yang benar. Ibadah itu akan Allah balaskan di akhirat nanti sesuai dengan janjinya. Yang bersesuaian dengan tempatnya. Akhirat negeri yang kekal lagi baik. Seandainya semua pahala dibalas di dunia ini lalau dimana tempatnya. Karna menurut keterangan Rasulullah s.a.w sendiri pahala amal manusia itu ada yang mencakupi derajatnya perjalanan selama 40 tahun dan ada yang besarnya seperti jarak antara langit dan bumi. Jadi orang yang tidak perlu sekolah pun menganggap tidak logis sendainya itu harus diberi di dunia ini. Lalau kenapa kononnya kita orang yang cerdas sering mengaitkan tentang rizki, kesusahan hidup, kemelaratan, gagal dalam usahan dengan ibadah. Memang efeknya ada tetapi itu relatif. Terkadang Allah memberi rizki dan kebaikan-kebaikan disesuaikan dengan kesanggupan hamba tersebut.

Tapi yang jelasnya jika seorang hamba itu benar-benar bertakwa kepa Allah hatinya selalu gembira. Ketika Allah membenarkan perkata Nabinya (Muhammad s.a.w) kepada sahabatnya (Abu Bakar) yang sedang ketakutan di dalam gua “Jangan takut dan jangan berduka cita sesungguhnya Allah bersama kita”.

Mengenai ibadah kita kepada Allah jangan salah dalam memahaminya. Ketahuilah seandainya seluruh penduduk bumi ini bertakwa kepada Allah seperti takwanya orang yang paling bertakwa di antara manusia itu. Niscaya tidak akan menambah kebesaran Allah walau sedikit pun. Dan kalaulah semua manusia itu kafir, mendurhakai Allah, niscaya tidak lah berkurang sedikitpun dari kebesaranNya. Kebaikan dan amal ibadah kepada Allah yang kita lakukan itu untuk diri kita sendiri. Untung dan ruginya kembali kepada manusia itu sendiri.
Banyaklah mengingat Allah dan pendekkan angan-angan ini adalah resep paling mujarab untuk mengobat kegelisahan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar